0

R e m b u l a n



>

Syawal kembali duduk di depan teras rumahnya sambil menatap bulan yang terbungkus tirai kabut persis sekabut hatinya sekarang. Suasana serasa teduh.
Badai yang menghantam kapal jiwanya cukup membuatnya sock. Betapa tidak? Saat dirinya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dia sudah harus menelan realita bahwa ayahnya telah meninggalkan dirinya dengan alasan merantau. " Wal, ayah hanya pergi mencari uang yang banyak untuk Syawal. Syawal jangan menangis ya. Ayah janji akan cepat pulang". Ternyata kalimat itulah menjadi salam perpisahannya dengan sang ayah.

Malam itu, ayah tirinya bertengkar hebat dengan bundanya. Pemandangan yang terlalu sering tersaji dihadapannya sehingga membuat Syawal muak dengan semua itu. Syawal sangat berharap ayahnya dapat kembali ke beranda mereka. Berkumpul seperti dulu. Tapi, harapan itu pupus sudah. Berita yang berhembus kencang mengalirkan derit cerita bahwa sang ayah telah menikah lagi dengan wanita yang kaya raya dan hidup bahagia menjadi pemicu sang bunda nekad untuk menikah lagi.

Sebenarnya, Syawal menentang keras pernikahan itu jauh sebelum dia tahu bagaimana tingkah laku ayah tirinya. Syawal masih berharap ayahnya akan kembali seperti janji yang diucapkan oleh ayahnya. Dia samasekali tidak percaya akan berita yang hampir membuatnya menjadi durja. Tapi, bundanya tetap berkekeh dengan keputusan yang dibuat karena rasa cemburu, emosi, gengsi atau apalah namanya. Bahkan, Syawal ambil sikap unjuk rasa tidak mau makan.

Waktu terus bergulir. Hingga kini ayahnya tak jua kunjung pulang. Janji hanya tinggal janji. Tepat saat Syawal beranjak dewasa bundanya menikah lagi dengan seorang pria yang terang-terangan sangat membenci kehadirannya. Sejak saat itulah, Syawal sangat suka menyendiri dan lebih senang berbicara kepada rembulan.

Pernikahan itu tetap terjadi. Sebuah perhalatan diselenggarakan. Tenda tergelar serta kursi berjejer rapi. Tak ketinggalan juga pentas berukur persegi tergelentang. Janur kuning melengkung di mulut gang. Nyanyian marhaban turut mengaung. Di ujung itu semua Syawal membeku atas penikahan itu dan dia yakin ini juga bukanlah kemauan bundanya. Ini terjadi karena keegoisan semata.

Syawal mulai merasa asing di rumahnya. Dia semakin jauh dari bundanya. Perhatian dan kasih sayang yang dulu tertuang sepenuhnya kepada dirinya seorang kini telah terbagi. Hingga, dia merasa bundanya tak lagi menghiraukannya. Sejak itulah, Syawal semakin akrab dengan rembulan. Dia sangat menyukai kedatangan malam daripada siang. Syawal membenci terang. Sebab terang hanya akan menunjukkan kenyataan takdirnya.

Empat belas tahun lamanya Syawal hidup satu atap dengan ayah dan kelima saudara tirinya. Tapi, Syawal merasa tak memiliki ayah. Syawal selalu merasa kesepian. Rumah seakan neraka baginya. Tinggal bersama orang yang tidak menyukai kehadirannya sungguh membuat Syawal tidak tenang tinggal di rumahnya sendiri.

Syawal masih menyatu dalam keteduhan malam. Belaian malam mengigit tubuhnya. Rembulan juga enggan keluar dari persembunyiaannya. " Awan menyingkirlah! Biar aku dapat mengobrol dengan rembulan yang kausekap itu." Teriak Syawal. Desir suara paraunya menyentak alam. Sekilas pepohonan berkelabat di antara riuh yang kian dingin.

Adegan demi adegan terekam oleh matanya. Pertengkaran yang tak ada ujungnya selalu menampilkan episode yang sama. Ayah tirinya yang suka main tangan sering meniggalkan jejak memar di wajah bundanya. Perkataan yang tak selayak didengarnya tetap menembus telinganya meski dia selalu berusaha menghindar. Entahlah, tangan dan kakinya terasa kaku. Tak ada tindakkan sedikit pun untuk membela bundanya. Setiap kali dua manusia itu berkelut. Syawal langsung melarikan diri ke kamar. Membungkus kepalanya dengan bantal. Selalu begitu.
" Bunda, inikah yang disebut demi kebaikan kita?" Tanyaku.

" Wal, bunda tak ingin melihatmu tak memiliki ayah?"
" Siapa bilang! Syawal punya ayah. Ayahnya Syawal pergi kerja mencari uang."
Bibir Syawal menggigil. Carut wajahnya pucat pasih. Pandangan hampa. Dia masih berharap akan janji ayahnya. Syawal ingin mengabarkan pada ayahnya kalau ia tidak membutuhkan uang yang banyak. Dia hanya ingin ayahnya kembali. Syawal sungguh merindukan kehangatan keluarga yang ia rasakan seperti dulu. Saat semuanya masih lengkap. Gelap malam semakin kalut.

Rembulan masih berada di balik awan. Syawal bingung bagaimana cara menyampaikan isi hatinya pada sang ayah. Bila melalui hembusan angin, akankah ayahnya dapat merasakan atau tidak.
Syawal tahu persis ayahnya sangat membenci angin. Ya, ayahnya sangat membenci angin.
Menurutnya, angin hanya dapat menjauhkan kita dari seseorang saja. Dan letak angin itu selalu berubah-ubah. Karena angin, Syawal harus kehilangan neneknya saat ia berusia lima tahun. Karena angin, ayahnya pergi. Karena angin juga ibunya menikah lagi.

Syawal berdiri. Kedua tangannya menadah seakan-akan dia ingin memeluk rembulan. Resahnya semakin meliuk-liuk hatinya. Dia buta akan arah mana yang harus ditempuh. Dia sudah tidak bisa bertahan di posisi yang terus menekan batinnya. Semua telah menggumpal menjadi daging dan darah yang menyatu di dalam tubuhnya. Bukankah kesabaran itu juga ada ujungnya?

Saat matahari hampir tenggalam. Sepintas ayah tirinya membisikkan kata yang membuatnya tercengah " Dasar kau anak bi Piem." Sontak Syawal terkejut batin. Dia tidak mengerti apa maksud ayah tirinya itu. Mulai sejak saat itu, ayah tirinya sering mengatakan hal tersebut pada dirinya.

Awalnya, Syawal tidak ambil pusing memikirkan itu. Tapi, lama-kelamaan bermunculanlah berbagai persepsinya. Apa hubunganya antara ia dan bibinya sendiri? Mengapa ayah tirinya selalu mengucapkan itu? Bahkan, yang gilanya lagi Syawal berpikir kalau dia sebenarnya adalah anak kandung bibinya. Makanya, ayahnya tidak kembali pulang. Entalah, dia tidak berani menghadapi bila kenyataannya begitu.

Dari kecil Syawal memang sudah akrab dengan rembulan. Dulu semasih ayahnya ada, Syawal sering diajak ke teras rumah menikmati malam. Biasanya, ia mendengarkan dongeng ayahnya tentang rembulan hingga ia tertidur pulas di pangkungannya. Rembulan yang selalu berwarna putih dan berpenampilan dengan bentuk yang bearbeda-beda. Kadang bulat penuh, kadang berbentuk sabit dan kadang pula tidak terlihat karena terhalang kabut. Sudah terlalu sering diceritakan ayahnya.

Ayahnya selalu berkata, kalau di dalam bulan tinggal seorang bu peri yang baik hati. Bu peri itu akan bersedia menjadi sahabat kita sekaligus dapat menghapus rasa sedih. Bu peri itu juga akan memberi kita senyuman yang indah. Dan menjadi penerang dalam pekat hati kita. Syawal yakin ketika ia memandang bulan, ia dapat menemukan wajah ayahnya di antara kabut putih. Setiap riuh yang lahirkan pasti ayahnya juga dapat mendengarnya.

Tapi, kali ini rembulan bersembunyi di balik punggung kabut. Bu peri pun tak dapat memadamkan rasa kalutnya yang kian berdenyut kencang. Syawal tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. wajahnya semakin membiru. Ya, rembulan seperti tidak ingin bertemu padanya. Kepalan tangan menggertak malam.

Para tetangga yang usil sering mempertanyakan tingkah laku Syawal yang aneh itu pada dirinya. Bahkan, langsung bertanya ke ibunya. Syawal menjadi buah bibir di lingkungan komplet perumahan juga menjadi bahan cemohan kelima saudara tirinya. Dia dijuluki siluman rembulan. Syawal tak mau terjebak dalam kemelut yang sengaja memancing amarahnya. Kesekian kalinya dia meredamnya bersama rembulan.

Kejadian tadi sore yang mencabik-cabik hatinya seketika melululantahkan benteng kesabaranya. Syawal merintih kesakitan. Sekujur tubuhnya lebab. Semburat darah segar muncrat dari hidungnya. Ujung bibirnya meninggalkan luka. Bundanya hanya diam saja. Semua terungkap dengan jelas. Ternyataan kecurigaannya benar. Dia bukan anak kandung dari kedua orang yang dianggapnya sebagai ayah dan bundanya.

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Matanya nanar. Syawal tak lagi menghiraukan rembulan yang memang tak ingin bertemu dengannya. Kelam jatuh dari pucuk malam bersama dinginnya serta angin. Kuntum bunga menunduk melihat Syawal. Syawal berbalik arah masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah sorak ketawa ayah tirinya menjadi padam. Tenang. Sebuah benda ditanamkannya di perut ayah tirinya.

(Dunia Koma, September 2011 Penulis mahasiswi PBSID UMN Al-washliyah semester 3)

Free Template Blogger collection template Hot Deals SEO

0 komentar:

Posting Komentar

Back to Top