0

Puisi Dinsya

>
Mengeja semburat pelangi

Saat langit menjunjung sejuta harapan
Dengan anggun

Merahmu…
Menterjemah pengorbanan yang mengalir
dalam sajak kehidupan

Kuningmu…
Melambangkan berhati-hati
Disetiap fase yang berjalan
Sebab tikungan silih beraganti mendewasakan

Tak alpa,
Hijaumu mengingatkan
Bahwa jejak dengan ridho-Nya
Akan lebih indah
Seindah warnamu
                        Pelangi.

                                                        Dunia KOMA
Patumbak, 07 Februari 2012


Melepas resah

Temaram dekaplah tubuhku
Selembut dekap ibu
Biar tenang jiwaku
Hingar bingar hari  meranggas hidupku
Liku menyatu bagai paku di rongga dadaku
Hanya binar mata ibu
Bingkis jiwaku tak ragu
melepas resah di kalbu
                                                                                                  Dunia koma, 2011



0

R e m b u l a n

>

Syawal kembali duduk di depan teras rumahnya sambil menatap bulan yang terbungkus tirai kabut persis sekabut hatinya sekarang. Suasana serasa teduh.
Badai yang menghantam kapal jiwanya cukup membuatnya sock. Betapa tidak? Saat dirinya masih sangat membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, dia sudah harus menelan realita bahwa ayahnya telah meninggalkan dirinya dengan alasan merantau. " Wal, ayah hanya pergi mencari uang yang banyak untuk Syawal. Syawal jangan menangis ya. Ayah janji akan cepat pulang". Ternyata kalimat itulah menjadi salam perpisahannya dengan sang ayah.

Malam itu, ayah tirinya bertengkar hebat dengan bundanya. Pemandangan yang terlalu sering tersaji dihadapannya sehingga membuat Syawal muak dengan semua itu. Syawal sangat berharap ayahnya dapat kembali ke beranda mereka. Berkumpul seperti dulu. Tapi, harapan itu pupus sudah. Berita yang berhembus kencang mengalirkan derit cerita bahwa sang ayah telah menikah lagi dengan wanita yang kaya raya dan hidup bahagia menjadi pemicu sang bunda nekad untuk menikah lagi.

Sebenarnya, Syawal menentang keras pernikahan itu jauh sebelum dia tahu bagaimana tingkah laku ayah tirinya. Syawal masih berharap ayahnya akan kembali seperti janji yang diucapkan oleh ayahnya. Dia samasekali tidak percaya akan berita yang hampir membuatnya menjadi durja. Tapi, bundanya tetap berkekeh dengan keputusan yang dibuat karena rasa cemburu, emosi, gengsi atau apalah namanya. Bahkan, Syawal ambil sikap unjuk rasa tidak mau makan.

Waktu terus bergulir. Hingga kini ayahnya tak jua kunjung pulang. Janji hanya tinggal janji. Tepat saat Syawal beranjak dewasa bundanya menikah lagi dengan seorang pria yang terang-terangan sangat membenci kehadirannya. Sejak saat itulah, Syawal sangat suka menyendiri dan lebih senang berbicara kepada rembulan.

Pernikahan itu tetap terjadi. Sebuah perhalatan diselenggarakan. Tenda tergelar serta kursi berjejer rapi. Tak ketinggalan juga pentas berukur persegi tergelentang. Janur kuning melengkung di mulut gang. Nyanyian marhaban turut mengaung. Di ujung itu semua Syawal membeku atas penikahan itu dan dia yakin ini juga bukanlah kemauan bundanya. Ini terjadi karena keegoisan semata.

Syawal mulai merasa asing di rumahnya. Dia semakin jauh dari bundanya. Perhatian dan kasih sayang yang dulu tertuang sepenuhnya kepada dirinya seorang kini telah terbagi. Hingga, dia merasa bundanya tak lagi menghiraukannya. Sejak itulah, Syawal semakin akrab dengan rembulan. Dia sangat menyukai kedatangan malam daripada siang. Syawal membenci terang. Sebab terang hanya akan menunjukkan kenyataan takdirnya.

Empat belas tahun lamanya Syawal hidup satu atap dengan ayah dan kelima saudara tirinya. Tapi, Syawal merasa tak memiliki ayah. Syawal selalu merasa kesepian. Rumah seakan neraka baginya. Tinggal bersama orang yang tidak menyukai kehadirannya sungguh membuat Syawal tidak tenang tinggal di rumahnya sendiri.

Syawal masih menyatu dalam keteduhan malam. Belaian malam mengigit tubuhnya. Rembulan juga enggan keluar dari persembunyiaannya. " Awan menyingkirlah! Biar aku dapat mengobrol dengan rembulan yang kausekap itu." Teriak Syawal. Desir suara paraunya menyentak alam. Sekilas pepohonan berkelabat di antara riuh yang kian dingin.

Adegan demi adegan terekam oleh matanya. Pertengkaran yang tak ada ujungnya selalu menampilkan episode yang sama. Ayah tirinya yang suka main tangan sering meniggalkan jejak memar di wajah bundanya. Perkataan yang tak selayak didengarnya tetap menembus telinganya meski dia selalu berusaha menghindar. Entahlah, tangan dan kakinya terasa kaku. Tak ada tindakkan sedikit pun untuk membela bundanya. Setiap kali dua manusia itu berkelut. Syawal langsung melarikan diri ke kamar. Membungkus kepalanya dengan bantal. Selalu begitu.
" Bunda, inikah yang disebut demi kebaikan kita?" Tanyaku.

" Wal, bunda tak ingin melihatmu tak memiliki ayah?"
" Siapa bilang! Syawal punya ayah. Ayahnya Syawal pergi kerja mencari uang."
Bibir Syawal menggigil. Carut wajahnya pucat pasih. Pandangan hampa. Dia masih berharap akan janji ayahnya. Syawal ingin mengabarkan pada ayahnya kalau ia tidak membutuhkan uang yang banyak. Dia hanya ingin ayahnya kembali. Syawal sungguh merindukan kehangatan keluarga yang ia rasakan seperti dulu. Saat semuanya masih lengkap. Gelap malam semakin kalut.

Rembulan masih berada di balik awan. Syawal bingung bagaimana cara menyampaikan isi hatinya pada sang ayah. Bila melalui hembusan angin, akankah ayahnya dapat merasakan atau tidak.
Syawal tahu persis ayahnya sangat membenci angin. Ya, ayahnya sangat membenci angin.
Menurutnya, angin hanya dapat menjauhkan kita dari seseorang saja. Dan letak angin itu selalu berubah-ubah. Karena angin, Syawal harus kehilangan neneknya saat ia berusia lima tahun. Karena angin, ayahnya pergi. Karena angin juga ibunya menikah lagi.

Syawal berdiri. Kedua tangannya menadah seakan-akan dia ingin memeluk rembulan. Resahnya semakin meliuk-liuk hatinya. Dia buta akan arah mana yang harus ditempuh. Dia sudah tidak bisa bertahan di posisi yang terus menekan batinnya. Semua telah menggumpal menjadi daging dan darah yang menyatu di dalam tubuhnya. Bukankah kesabaran itu juga ada ujungnya?

Saat matahari hampir tenggalam. Sepintas ayah tirinya membisikkan kata yang membuatnya tercengah " Dasar kau anak bi Piem." Sontak Syawal terkejut batin. Dia tidak mengerti apa maksud ayah tirinya itu. Mulai sejak saat itu, ayah tirinya sering mengatakan hal tersebut pada dirinya.

Awalnya, Syawal tidak ambil pusing memikirkan itu. Tapi, lama-kelamaan bermunculanlah berbagai persepsinya. Apa hubunganya antara ia dan bibinya sendiri? Mengapa ayah tirinya selalu mengucapkan itu? Bahkan, yang gilanya lagi Syawal berpikir kalau dia sebenarnya adalah anak kandung bibinya. Makanya, ayahnya tidak kembali pulang. Entalah, dia tidak berani menghadapi bila kenyataannya begitu.

Dari kecil Syawal memang sudah akrab dengan rembulan. Dulu semasih ayahnya ada, Syawal sering diajak ke teras rumah menikmati malam. Biasanya, ia mendengarkan dongeng ayahnya tentang rembulan hingga ia tertidur pulas di pangkungannya. Rembulan yang selalu berwarna putih dan berpenampilan dengan bentuk yang bearbeda-beda. Kadang bulat penuh, kadang berbentuk sabit dan kadang pula tidak terlihat karena terhalang kabut. Sudah terlalu sering diceritakan ayahnya.

Ayahnya selalu berkata, kalau di dalam bulan tinggal seorang bu peri yang baik hati. Bu peri itu akan bersedia menjadi sahabat kita sekaligus dapat menghapus rasa sedih. Bu peri itu juga akan memberi kita senyuman yang indah. Dan menjadi penerang dalam pekat hati kita. Syawal yakin ketika ia memandang bulan, ia dapat menemukan wajah ayahnya di antara kabut putih. Setiap riuh yang lahirkan pasti ayahnya juga dapat mendengarnya.

Tapi, kali ini rembulan bersembunyi di balik punggung kabut. Bu peri pun tak dapat memadamkan rasa kalutnya yang kian berdenyut kencang. Syawal tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. wajahnya semakin membiru. Ya, rembulan seperti tidak ingin bertemu padanya. Kepalan tangan menggertak malam.

Para tetangga yang usil sering mempertanyakan tingkah laku Syawal yang aneh itu pada dirinya. Bahkan, langsung bertanya ke ibunya. Syawal menjadi buah bibir di lingkungan komplet perumahan juga menjadi bahan cemohan kelima saudara tirinya. Dia dijuluki siluman rembulan. Syawal tak mau terjebak dalam kemelut yang sengaja memancing amarahnya. Kesekian kalinya dia meredamnya bersama rembulan.

Kejadian tadi sore yang mencabik-cabik hatinya seketika melululantahkan benteng kesabaranya. Syawal merintih kesakitan. Sekujur tubuhnya lebab. Semburat darah segar muncrat dari hidungnya. Ujung bibirnya meninggalkan luka. Bundanya hanya diam saja. Semua terungkap dengan jelas. Ternyataan kecurigaannya benar. Dia bukan anak kandung dari kedua orang yang dianggapnya sebagai ayah dan bundanya.

Tangisnya semakin menjadi-jadi. Matanya nanar. Syawal tak lagi menghiraukan rembulan yang memang tak ingin bertemu dengannya. Kelam jatuh dari pucuk malam bersama dinginnya serta angin. Kuntum bunga menunduk melihat Syawal. Syawal berbalik arah masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah sorak ketawa ayah tirinya menjadi padam. Tenang. Sebuah benda ditanamkannya di perut ayah tirinya.

(Dunia Koma, September 2011 Penulis mahasiswi PBSID UMN Al-washliyah semester 3)
0

Jejak karya

>

Wujud manusia ada, adalah dengan meninggalkan jejak di dunia ini, maka bahagialah bagi yang telah meninggalkan sejarahnya lewat dunia kata...

Berikut berapa jejak kita yang terserak di Dunia maya....


Puisi

(EL surya)

Maafkan aku… sebenarnya aku juga rindu padamu.Ingin kulihat lagi tingkah manjamu,ingin kudengar lagi candariamu.sebenarnya aku juga ingin tersenyum padamu sebebas senyummu padaku,lepas tanpa beban menyatakan perasaan.

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/10/10/3373/pesta_puisi/

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/01/23/16556/pesta_puisi/


Merayakan Empat Tahun Usia Harian Global, Semoga Hidup Hingga Seribu Tahun Lagi...

( Tiflatul Husna (baca puisi)

http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37480:merayakan-empat-tahun-usia-harian-global-semoga-hidup-hingga-seribu-tahun-lagi-&catid=34:rileks&Itemid=60


Cerpen

Anhar Husyam


cerpen di Kompas.com

http://oase.kompas.com/read/2010/08/10/0243223/Kembalinya.Si.Baen


cerpen di Kopi Sastra.Org

http://www.kopisastra.org/2010/11/malam-peramu-mimpi.html


Beberapa wawancara....


http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37800%3Atiflatul-husna-qkamu-adalah-apa-yang-kamu-pikirkanq&Itemid=54


http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=38757:m-anhar-husyam-butuh-tekad-kuat-dan-percaya-diri-&catid=44:remaja&Itemid=74


Resensi kita

http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2010/10/31/5939/mereguk_kisah_secangkir_teh/

Kita berkomunitas dan berkarya untuk jejak kita dan jejak komunitas-harus sejalan-karena kita merangkak, berdiri dan berlari dari komunitas kita...


Keep Fight and Flight!!

Tetap Sederhana, selalu memberi dan terus meraut karya....


'KOMA'!


*catatan mengingat lahir kita ( 09 januari 2010 ) nyata kita tlah ADA, BERMAKNA DAN BAHAGIA Dalam dunia Kata-kata...


Lomba Menulis Fiksi 100 Kata

>

Ini TANTANGAN baru! ini baru TANTANGAN!

Sahabat, menulis karya cipta berupa tulisan 100 kata tidaklah sesulit yang kita bayangkan, malah sangat mudah! Betapa kita diberi kebebasan mengekspresikan letupan ide kita dalam ruang yang sempit. Ini dia tantangan!

Memang ada tantangan dalam pengemasan, dimana nyali kita diuji untuk membuat sebuah tulisan yang tidak saja menyaji deret kata yang jumlahnya seratusan, namun juga mengandung pesan juga memberi kejutan-kejutan yang meletup-letupkan simpul imajinasi pembacanya…

Jadi, tunggu apalagi? Ikutilah lomba ini. Ambil kertas dan pena. Tulis, tulis dan tulis!
Lantas biarkan karyamu menentukan takdirnya sendiri :)


* TAMBAHAN persyaratan:
  1. i. Total jumlah kata dalam cerita (tidak termasuk judul, kata ulang dihitung satu kata) tentu saja seratus.

  2. j. Tidak menyinggung SARA
  3. --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa contoh...

Surat Cinta

Temanku memotong urat nadinya senin lalu. Sebuah cara yang terlalu konservatif untuk bunuh diri, tapi nyatanya dia berhasil merenggut nyawanya sendiri.
Ibunya menelponku kemarin, ”Tiara, bisa tolong tante membereskan barang-barang Andri?”
Jadi aku datang hari ini. Ibumu terlalu sedih untuk masuk sendiri ke kamarmu.
Apa yang salah, Ndri?
Aku berulang-ulang kali bilang kamu temanku yang paling berharga.
Sahabatku yang takkan pernah terganti.
Aku berulang-ulang kali bilang itu.
Berulang-ulang kali.
---
Di antara barang-barangmu, kutemukan sebuah surat yang ditujukan kepadaku.
”Aku cinta kamu, aku cinta kamu, aku cinta kamu.”
Surat cinta?
”dan aku tak mampu lagi bernyawa bila dirimu takkan jadi milikku.”
Bukan.

(Nurkastelia A)



Pemabuk Jalanan

Sudah malam rupanya. Untung saja aku sudah makan tadi. Sepertinya aku bisa tidur nyenyak tanpa takut perutku berbunyi menggganggu mimpiku.
”Hooooaaamm..”
Aku menguap. Mataku mengantuk. Seperti lampu lima watt saja layaknya. Walaupun aku yakin manusia dan binatang lain tetap melihat mataku menyala hijau terang.
Aku berjalan menuju tumpukan kardus dan kain kumal di pojok jalan itu. Tempat tidurku.
Kulihat ke kanan. Ada seorang manusia berjalan ke arahku. Jalannya oleng. Sepertinya ia sedang mabuk berat. Tiba-tiba saja ia menginjak kulit pisang, jatuh terjerembab, lalu kepalanya membentur aspal.
Aku menghampirinya.
”Ah, ia sudah tak bernafas. Makanya jangan mabuk-mabukan. Matilah kau!”

(krisna adityawan)



Iri

Aku masih di sini
Sendiri
Dan hanya bisa memimpikanmu

Aku iri pada kedua orang tuamu
Yang bisa melihat wajah tidurmu setiap hari

Aku iri pada teman-temanmu
Yang bisa melihat tingkahmu setiap saat

Aku iri pada rekan kerjamu
Yang bisa bersamamu seharian

Aku iri pada tukang ojek itu
Yang bisa selalu bersamamu setiap pagi

Aku iri pada pemilik warung langgananmu
Yang bisa memberimu makan setiap siang

Aku bahkan iri pada satpam kompleks rumahmu
Yang Cuma membuka pintu untukmu setiap malam

Aku iri pada mereka
Yang punya begitu banyak kesempatan untuk membunuhmu

Dan aku masih di sini
Sendiri
Hanya bisa memimpikannya

(Jamaluddin Ahmad)


Ada Mayat

Ada kerumunan yang makin lama makin ramai. Ada polisi, mobil ambulan, petugas-petugas berseragam putih, lalat-lalat berdengung, dan orang-orang bergumam tak jelas sambil menutup hidung.
Rasa keingintahuan mengundang, yang sekedar lalu lalang lalu berhenti. Sampai yang sengaja datang untuk melihat.
Di pingir kali yang menghitam, bertanggul tumpukan sampah, berpagar rumah kardus, anak-anak yang bermain menemukan sepotong tubuh tak bernyawa tersangkut kaki jembatan bambu.
Tubuh itu diangkat, bau, bengkak menggelembung dan pucat. Ibu-ibu dan para gadis berteriak histeris...
”Seorang wanita...” bapak-bapak berseragam menyimpulkan.
Perlahan aku menjauh, bergerak pelan dan tidak mencolok.
Sial, mayat istriku bukannya hanyut ke laut malah masuk kampung!

(Hotma Juniarti)

Dikutip dari buku 100 Kata -kumpulan cerita 100 kata- terbitan Antipasti.



Link download formulir:

http://www.ziddu.com/download/13074624/FormulirPendaftaranLOMBA100KATA.doc.html


link terkait ( bisa membantu)



0

Pengumuman Hasil seleksi KOMA angkatan II

>
Keluarga baruku, kemauan kalian untuk bergabung dengan KOMA adalah sebuah pilihan-atas pilihan yang tersaji di hadapan kalian, maka setelah memilih, maka buktikan pada sekitar, bahwa apa yang telah kamu pilih ini adalah pilihan terbaik untuk membahagiakan orang yang kita cinta.
Jadikan juga ini pembuktian untuk menumbuhkan benih loyalitas, kreatifitas dan kemauan untuk terus belajar.

Berikut nama peserta yang lolos seleksi KOMA angkatan II

1. Ayu sundari : A ( Baik sekali) / lulus
2. Ajeng M Ula : A ( Baik sekali) / lulus
3. Dina syafitri : A ( Baik sekali) / lulus
4. Nanda Candra : B * Lulus Bersyarat
5. Maimunah : C+* Lulus Bersyarat


Peserta yang lulus, WAJIB hadir sabtu (20 november 2010) pukul 14.00 WIB
untuk disahkan secara simbolik sekaligus ngumpul perdana bersama Keluarga KOMA yang lainnya..

Selamat datang keluargaku,
Selamat menjadi pemBERI...

SALAM KOMA!
2

Jejak di Harian GLOBAL

>
Alhamdulillah, KOMA menggurat Jejak lagi. Kali ini dalam Sayembara HUT Harian Global Medan. Selamat untuk kita semua, ini kemenangan yang layak dirayakan dengan sederhana.
klik di sini untuk membaca berita.

Apresiasi tinggi untuk Harian Global yang mengadakan event seperti ini. Semoga kegiatan semacam ini ke depannya terus berlanjut dan lebih baik, Semoga Harian Global makin maju.



Terus membaca dan berkarya ya!
0

JEJAK KOMA

>
Usia muda tak membatasi kreatifitas untuk berkarya. Begitulah KOMA, Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya dalam usia mudanya sudah lumayan prestasi yang diraihnya. Koma lahir 9 Januari 2010, kalau dihitung maka usia Koma saat ini baru 4 bulan tetapi sudah lebih dari 4 0rang telah meraih prestasi. Berikut beberapa prestasi yang telah diraih keluarga Koma:


1.
Zulfa Indriyani, mahasiswa semester 6 jurusan Pendidikan Ekonomi UMN. Puisinya pun telah diterbitkan di Harian Medan Bisnis dengan judul puisinya ”Merah Saga, Akar Mahabbah dan Kesetiaan”.

2.Farida Hanum, mahasiswa semester 2 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UMN, meraih juara berbakat 1 dalam lomba membaca puisi yang diadakan oleh Home Poetry,sebuah komunitas puisi Unimed dan menyelenggarakan lombanya di Taman Budaya, Medan. Selain itu puisinya juga sudah diterbitkan di Medan Bisnis dengan judul ” Meredup Asa dan Mengasa Engkau”

3. Lilik Suryadi, mahasiswa semester 6 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UMN, sudah dua kali karyanya dimuat Harian Medan Bisnis dengan judul puisinya “Kalau Hujan Turun, Hilang, Seandainya..., Kemudian mendapat juara 2 kate gori Cipta Puisi Islami dalam Sayembara Corat-Coret (SCC) yang diadakan oleh Majalah Asy Syifa’ Unimed dengan judul puisinya “Do’a Dua Negeri”

4.Tiflatul Husna, mahasiswa semester 2 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UMN, 4 puisinya diterbitkan di Medan Bisnis dengan judul puisinya “Emak, Gabah, Kunang dan Asa”. Kemudian dalam lomba pembacaan puisi yang diadakan oleh Home Poetry di Taman Budaya,Medan. Dia meraih juara harapan 2. Juara 1 dalam lomba baca puisi di LKK Teater, Kompoe dan terakhir di lomba baca puisi cinta yang diselenggarakan Harian Global Medan Mei 2010.

5. Muhammad Anhar Husyam, Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra UMN, Cerpennya "Pak Uban" termasuk dalam 6 cerpen terbaik dalam Antologi Cermin, Catatan Sahari , Mengeja Relung Nayla dan Malam Peramu Mimpi adalah beberapa cerpen yang sempat dimuat di Medan Bisnis. Meraih Juara III Lomba Menulis Cerpen yang diselenggarakan Harian Global Medan pada bulan Mei 2010. Terakhir tulisannya masuk dalam KOMPAS.COM.


Saat ini keluarga tidak hanya ingin meraih prestasi yang lebih, tetapi turut memberi kontribusi dalam menumbuhkembangkan minat sastra di Sumatera Utara. Semoga torehan jejak ini menjadi motivasi bagi keluarga Koma yang lain untuk menyusul. Ditunggu geliatnya!.

”Jejakkan karya anda sebagai wujud bahwa anda pernah ada di dunia ini...”

KOMA...!
Lingkar pelangi sesudah hujan...Eugh!!



post by: EL & EM
Back to Top